Sekarang hanyalah kambing dan kerbau, makan rumput disana
Prihatin,,, Lapangan sepakbola dikampungku sekarang lebih sering kosong
Saat saya masih kecil, sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu, sepak bola sudah menjadi olah raga populer (merakyat) yang digemari dari kaum anak-anak hingga manula. Hampir tiap sore lapangan bola selalu penuh dengan orang-orang yang main bola. Bahkan di bulan puasa Ramadhan pun, masih saja tiap sore lapangan bola itu penuh dengan para penggila main bola.

Waktu kecil pun main sepak bola dengan bola plastik menjadi olah raga yang sangat menyenangkan, apakah itu sekadar untuk mengisi waktu bermain, atau mengikuti perlombaan antar sekolah atau antar kampung. Yang teringat, saat itu sepak bola menjadi olah raga yang sangat menghibur dan menyenangkan, baik bagi para pemainnya, maupun para penontonnya.
Dalamkurun waktu yang berjalan, sepak bola secara perlahan tapi pasti lalu menjadi olah raga yang berisiko tinggi, karena mulai menjadi cenderung menunjukkan permainan yang kasar dan ujung-ujungnya menjadi perkelahian bahkan tawuran massal. Perkelahian antar pemain, pemukulan terhadap wasit, dan perkelahian antar penonton, menjadi sering terjadi. Sejak saat itu, jika ada pertandingan sepak bola, para orang tua ada yang mulai melarang anak-anaknya untuk menonton di lapangan.
Adegan kekerasan ternyata tidak terjadi dalam pertandingan antar kampung semata. Belakangan, pertandingan tingkat nasional dan bahkan internasional pun sering dibumbui dengan adegan kekerasan dan perkelahian. Tayangan di televisi tentang adegan kekerasan ini semakin menguatkan citra sepakbola yang penuh risiko perkelahian. Tak jarang adegan kekerasan/perkelahian inilah yang bahkan ditunggu-tunggu beritanya.

“Tak asyik kalau nonton bola tidak ada adegan berantemnya….,” celoteh temanku dengan tertawa, di mana aku ikut mengiyakan dalam hati dan ikut tertawa. Adegan wasit berantem dengan pemain/ofisial di tengah lapangan, dan adegan-adegan lainnya yang bahkan lebih sadis sudah terekam oleh stasiun TV dan terkadang disiarkan secara berulang kali. Hal itu tentu semakin memperburuk citra olah raga paling populer di dunia ini.

Ternyata tidak! Mengapa? Adegan “kekerasan” atau “perkelahian” justru ditunjukkan secara tidak langsung oleh para pemimpin yang saling ancam mengancam, menghujat, dan berperang opini di media. Jika masing-masing kubu (PPSI dan LPI) saling egois, mau menang sendiri, dan tidak mau mencari jalan tengah, dikhawatirkan itu akan menjadi motivasi para pemain, fans, dan penonton untuk kembali melegalkan bumbu kekerasan yang selama ini menyertai setiap pertandingan sepakbola.

Tolong para pemimpin, komentator bola, para pemain, para pelatih, para fans, dan para penggila bola .. jangan tunjukkan kekerasan kepada kami… Jangan buat lapangan sepak bola di kampung kami, atau lapangan bola di mana pun juga.. menjadi sepi karena kurang peminat.. karena tak tertarik lagi dengan olah raga sepak bola yang penuh dengan kekerasan dan intrik-intrik ….
Kami rindu dengan sepakbola yang seperti dulu yang menghibur serta menjadi ttontonan orang dari segala usia…..
Foto Oleh : Irfanda Irfan | Nur Bahtiar
2 comments for "Sekarang hanyalah kambing dan kerbau, makan rumput disana"